Panglima Besar Maslamah menghadapi suatu masalah besar dalam sebuah operasi militernya. Daerah musuh yang akan ditaklukkannya terbentang di hadapannya. Namun benteng kokoh berdiri tegak, seakan tak akan bisa ditembus kekuatan tentara nya.
Ia berpikir keras strategi apa yang akan dilakukannya. Pertempuran umum dengan mengerahkan tentara begitu saja ke dekat benteng tentu akan memakan banyak banyak korban. Benteng demikian tinggi, penjagaannya sangat ketat. Anak panah dengan mudah bermuntahan ke bawah, jika para mujahidin berada di bawahnya. Sedangkan Maslamah sadar bahwa meskipun setiap mujahidin menginginkan syahadah di medan laga, ia harus memperkecil kemungkinan banyaknya tentara yang gugur. Jumlah mereka sangat minim dibandingkan lasykar musuh.
Tiba-tiba ia menemukan jalan. Dilihatnya sebuah lorong dalam benteng kurang terjaga kuat. Jika lorong tersebut dapat ditembus dan membuka pintunya, pastilah para mujahidin dengan mudah menyerang ke dalam benteng. Tetapi masalahnya pekerjaan itu tak dapat dilakukan secara terang-terangan yang melibatkan banyak pasukan. Ini akan menarik perhatian dan menimbulkan kepanikan. Strategi dapat terbaca, mereka jelas akan mengerahkan kekuatan untuk mempertahankan pintu tersebut mati-matian. Berarti perkerjaan itu harus dilakukan oleh seorang yang kuat dan pemberani. Yang dapat menyelinap dan menaklukkan para penjaga tanpa membuat kehebohan.
Di perkemahan pertahanannya Maslamah pun mengumpulkan para mujahidin. Diceritakanlah taktik yang tengah dipikirkannya, kemudian ia bertanya: “Siapakah yang berani merelakan dirinya untuk mengemban tugas ini?”. Tak ada jawaban. Para Mujahidin saling berpandangan seakan-akan mereka tak dapat membanyangkan bahwa tugas itu dapat diselesaikan oleh seorang saja. Maslamah mengulang pertanyaannya Tetap tak ada jawaban. “Ini suatu pekerjaan yang mustahil…” pikir mereka.
Maslamah tercenung. Apakah strategi yang paling mungkin harus diubahnya? Tak adakah seorang prajurit yang relah berkorban demi terbukanya peluang ini? Maslamah hampir putus asa. Tetapi, tiba-tiba datanglah seorang mendekatinya. Dari atas pelana kudanya orang itu pun berseru: “Saya yang akan mengerjakan tugas itu, wahai Maslamah!”.
Maslamah terkejut. Dipandangnya orang yang tiba-tiba saja berada dihadapan nya. Dia berbadan tegap. Di pinggangnya terselip pedang. Sorot matanya menampakkan kejantanan. Tetapi, ya Allah! Ia menyembunyikan wajahnya di balik kain penutup kepala yang dibelitkan ke wajahnya. Hanya mata dan pangkal hidungnya saja yang nampak. Doa Maslamah mengiringi kepergian orang itu. Mudah-mudahan Allah menolongnya…” bisiknya.
Tak lama kemudian tampaklah orang itu memberi isyarat. Ia telah menaklukkan para penjaga dengan mudah dan berhasil menguasai pintu masuk. Maka menyerbulah mujahidin Islam ke benteng. Pertempuran dahsyat terjadi. Jerit takbir dan dentingan pedang-pedang yang berbenturan bersahutan silih berganti. Allah swt. melimpahkan karunianya dengan kemenangan yang dicapai kesatuan Maslamah.
Seusai pertempuran, Maslamah kembali berteriak: “Wahai Shahib an Naqb (si penguasa pintu) siapakah engkau sebenarnya? Marilah kemari, kenalkan dirimu!” Tak ada seorang pun yang menyahut, mengaku sebagai Shahib an Naqb. Para mujahidin hanya bisa saling berpandangan. Mereka juga ingin mengetahui siapa sebenarnya manusia yang gagah perkasa itu.
Selang beberapa lama datanglah seseorang ke kediaman Maslamah. Orang itu berkata: “Jika tuan ingin mengetahui siapakah sebenarnya Shohib an Naqb, saya dapat memberi tahu.” Engkaukah Shohib an Naqb?” sergah Maslamah. “Sebelum saya memberi tahu siapa Shohib an Naqb, tuah harus memenuhi tiga syarat,” kata orang itu lagi.
Maslamah penasaran. Dengan segera ia menyetujui persyaratan yang diajukan. “Silahkan sebutkan…!” katanya.
Orang itu berkata: “Pertama tuan jangan bertanya siapa nama Shohib an Naqb. Kedua jangan memberi hadiah apapun kepadanya. Ketiga, jangan ceritakan peristiwa ini kepada Amirul Mu’minin!”
“Baik!” jawab Maslamah. “Katakan siapakah Shohib an Naqb?”
“Sayalah Shohib an Naqb!” kata orang tersebut.
Setelah kejadian itu, panglima perang Maslamah mengangkat tangan dan berdoa: “Ya Allah! Kumpulkan aku di surga bersama Shohib an Naqb!”.
Seorang yang ikhlas akan mengutamakan kerja daripada berbicara. Kerja yang dihasilkan bukan untuk dibicarakan atau disebarluaskan dan dibanggakan.
Subhanallah, Maha Suci Allah dan Dialah Yang Maha Agung.
sumber : btm3.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar